Pada abad
ke-17 di Barat (Eropa) perkembangan ilmu pengetahuan mengalami kemajuan yang
sangat segnifikan, kemajuan ini dipicu oleh orang-orang dari kalangan agamais
sendiri yang berani merombak dan menentang doktrin-doktrin yang dianggapnya
tabu pada agamanya karena tidak sesuai lagi dengan keadaan zaman. Sehingga pada
akhirnya Kristen (sebagai agama penguasa di Barat) terpecah menjadi dua yaitu
Protestan dan Katolik. Hal ini seakan
menjadi pemicu bagi semua bidang ilmu yang telah ada untuk berkembang dengan
sangat pesat, tak ketercuali pada estetika.
Zaman
pencerahan adalah zaman setelah berakhirnya zaman Renaisance yang merupakan
zaman ke-emasan dari perkembangan seni di Barat. Sesuai dengan namanya pada
zaman ini manusia mulai lagi bepikiran yang cerah, dalam artian manusia mulai
lagi mengandalkan nilai kebebasan dari akal budi atau logika manusia itu
sendiri. Tidak lagi harus terkungkung dari hukum penguasa atau gereja. Dengan kebebasan ini semua orang mempunyai
hak yang sama untuk mengekspresikan dirinya, mencari dan mempelajari ilmu-ilmu
yang disenangi. Dan yang lebih penting mereka tidak takut lagi mengajukan suatu
pendapat yang mereka anggap benar.
Zaman
pencerahan ini juga sering disebut dengan zaman rasionalisme. Karena hampir keseluruhan ilmu berpijak dari logika
atau akal manusia tak ketercuali estetika. Rene Descartes yang merupakan
pelopor filsuf rasionalisme memberikan sebuah pemahaman bahwa segala sesuatu
diringkas dalam semboyan clara et
distincta, (clear and distinct) yang artinya jelas dan lugas. Namun
terhadap seni dan estetika yang menyangkut perasaan para filsuf pencerahan
menyebutkan clear and confused yang artinya jelas, namun tak dapat diterangkan
secara lugas dan rinci.
Berdasarkan
pendapat umum, estetika diartikan sebagai suatu cabang filsafat yang
memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah pada alam dan seni. Estetika
yang berasal dari bahasa Yunani “aisthetika” berarti hal-hal yang dapat dicerap
oleh panca indera. Oleh karena itu estetika sering diartikan sebagai pencerapan
indera (sense of perception). Alexander Baumgarten (1714-1762), seorang filsuf
Jerman adalah yang pertama memperkenalkan kata aisthetika, sebagai penerus
pendapat Cottfried Leibniz (1646-1716). Baumgarten memilih estetika karena ia
mengharapkan untuk memberikan tekanan kepada pengalaman seni sebagai suatu
sarana untuk mengetahui (the perfection of sentient knowledge).
Pada zaman
pencerahan panadangan filsuf terhadap
estetika khususnya seni memiliki beberapa ciri-ciri seperti :
1.
Keindahan dimasukkan ke dalam katagori sensoris (pencerapan indra manusia)
dan intelektual manusia secara alami disamping itu keindahan dipandang suatu
gejala imperis (pengalaman) dan trasendental.
2.
Ketertarikan filsuf pada hubungan dunia objektif
yang berupa karya budaya dengan kodrat alamiah manusia.
3.
Selera menjadi kritik objek dalam seni dimana
manusia itu sendiri sebagai hakim keindahan benda seni.
4.
Mulai pudarnya teori keindahan secara
spekulatif, mulai munculnya berbagai konsep dan teori seni.
5.
Mulai tersebarnya ajaran tentang kemampuan dasar manusia yang kodrati, dimana
manusia memiliki empat tingkat kemampuan yaitu kemampuan vegetatif, lokomotif,
rasional dan sensoris atau pengindraan. Dalam konteks ini seni dimasukkan dalam
tingkatan sensoris atau pengindraan.
Tokoh-tokoh Filsuf
Zaman Estetika Pencerahan
1. Earl of Shaftesbury (1671-1713)
Shaftesbury filsuf asal Inggris ini
mengatakan bahwa keidahan alamiah adalah bayang-bayang belaka dari keindahan
asal dimana ia melihat gejala keindahan adalah sesuatu yang bersifat
transendental. Pandangan Shaftesbury ini kerap dikatakan berkaitan dengan
ajaran Plato yang menilai tinggi adanya
ide murni, dan juga ada pengaruh dari paham agama Puritisme yang berkembang
baik di Inggris kala itu sehingga ia berpendapat bahwa kepentingan pribadi
(selera individual) dalam seni dan keindahan akan menjadi semacam perusak dari
keindahan murni. Menurut kaum Puritin, keinginan untuk pribadi untuk memiliki
keindahan secara tetap adalah unsur perusak dalam apresiasi seni. Pertimbangan
kepentingan pribadi atau berbagai keinginan praktis dalam diri manusia tidak
sejalan dengan apresiasi seni.
Ada tiga tingkatan keindahan dalam hidup ini, yaitu tingkat
jasmaniah, rohaniah (spiritual), dan tingkat illahi. Sesuatu yang indah selalu
bersifat baik dan teratur sehingga ukuran moral menjadi sangat penting dalam
nilai seni menurutnya.
Apresiasi terhadap
seni (faculty of taste) bukan
merupakan satu indra tersendiri tetapi bersifat dwi tunggal, dan dapat
dijelaskan dalam dua ranah fungsi yaitu :
a.
Sebagai kemampuan moralitas, mampu menilai
kesusilaan suatu perbuatan orang, patut, tidak patut, ia memandang ini sebagai
fungsi intelektual.
b.
Sebagai kemampuan menikmati keindahan (sense of
beauty), indra ini merupakan fungsi dari budi manusia yang dibangkitkan oleh
adanya “karunia atau berkah dari atas” (baik dari leluhur ataupin Tuhan)
sehingga dapat dikatakan bersifat transendental. Fungsi ini tak sepenuhnya
dikuasai oleh manusia, mannusia harus mengarahkan dirinya kepada “kekuatan dari
atas” dengan cara melakukan kontemplasi diri.
Penggabungan dari kedua fungsi ini didasarkan atas
keyakinan. Untuk mendapatkan pengalaman keduanya diperlukan keiklasan budi yang
sering disebut dengan disinterestedness
(tidak berkepentingan). Tanpa adanya sebuah keiklasan manusia tidak akan
mungkin bisa melakukan penilaian moralitas.
2. Hutcheson (1694-1746)
Hutcheson mengatakan selera seni
atau keindahan bersifat tunggal, yakni murni keindahan yang bersifat imanen,
kemampuan untuk menikmati keindahan itu barada pada manusia sendiri. Ini
merupakan reaksi penolakan terhadap pandangan Shafesbury. Hutcheson mengajarkan
pada setiap diri manusia terdapat kemampuan dasar yang bersifat internal dan
eksternal.
Kemampuan internal manusia
menyangkut masalah moral, kemuliaan, solidaritas, patriotik, rasa jengah dan
keindahan. Kemampuan internal ini bersifat mental dan akan memberikan reaksi
pada objek yang berada pada luar diri manusia.
Sementara itu kemampuan eksternal
manusia diwakili oleh kelima indra manusia dalam berhubungan dengan hal-hal
diluar dirinya. Kegiatan indra-indra inilah yang nantinya akan memberikan suatu
persepsi terhadap sesuatu. Jika seseorang menghadapi objek seni diluar dirinya,
maka sense of beauty yang merupakan
kemampuan internal akan menanggapinya dengan perasaan tenang, damai, senang, harmonis,
utuh, seimbang dan bahagia.
Dalam menanggapi objek tersebut
sifat internal dan eksternal akan bekerja secara simultan sebelum adanya campur
tangan rasio dan intelektual. Indra eksternal menghasilkan persepsi, logika
anggapan ini adalah tanpa adanya kepentingan disinterstedness sebab tidak adanya pertimbangan (Logika) yang
sempat mencampurunya.
3. David Hume (1711-1776)
David Hume mengatakan bahwa
pemahaman tentang kemampuan perasaan seni pada manusia dilakukan dengan
penelitian emperis terhadap aspek-aspek tetentu sifat manusia. David Hume
menjelaskan standar keindahan pada manusia hanya dapat diukur dari pengalaman
imperis, yakni berdasarkan pengalaman nyata yang dikerjakan secara induktif.
Dengan penelitian seperti itu dapat ditemukan sifat cita rasa manusia, dan
dengan cara kerja itu Hume mendapat kesimpulan substantif mengenai keindahan.
Menurutnya ada unsur mental dalam diri yang bersifat internal mengenai
keindahan. Subjek sangat berperan penting dalam menentukan keindahan namun antar
keduanya terjadi hubungan saling melengkapi antara kualitas mental tentang
keindahan dan nilai-nilai keindahan yang terkandung dalam objeknya.
David Hume lebih banyak menerima pendapat Anthony tetapi ia
mempertahankan bahwa keindahan bukan suatu kualitas yang objektif dari objek.
Yang dikatakan baik atau bagus ditentukan oleh konstitusi utama dari sifat dan
keadaan manusia, termasuk adat dan kesenangan pribadi manusia. Hume juga
membuat konklusi, meskipun tak ada standar yang mutlak tentang penilaian
keindahan, selera dapat diobyektifkan oleh pengalaman yang luas, perhatian yang
cermat dan sensitivitas pada kualitas-kualitas dari benda.
4. Alexander Gottlieb Baumgarten (1714 - 1762)
Gottlieb Baumgarten dikatakan
sebagai pelopor dari istilah estetika, namun Ia tergolong filsuf minor yang
pendapatnya sering diabaikan. Ia berpendapat bahwa objek seni bersifat indrawi.
Dengan itu seni dikatagorikan sebagai ilmu keindrawian sehingga bersifat
intektual. Dalam hal ini kebenaran ojektif harus sesuai dengan kebenaran estetik.
Meskipun demikian kebenaran estetik terletak pada hal-hal yang nampaknya tidak
benar dan benar, yaitu suatu kebenaran yang mungkin. Ada kebenaran yang secara
intelektual dan indrawi. Ada kebenaran yang secara indrawi benar namun secara
intelektual tidak benar ataupun sebaiknya. Inilah yang menyebabkan dalam seni
prinsip clear and distinct tidak
berlaku. Karya seni dalam wujudnya sangat jelas namun tidak dapat dijelaskan
secara rinci dengan rasional. Dengan kata lain sumbangan
pemikiran Alexander adalah membedakan antara penegetahuan intelektual
(konkrit) dengan
penegtahuan inderawi (abstark). Dalam pengetahuan
inderawi yang bersifat
abstark ini mengandung keindahan.
5. Immanuel Kant (1724-1804)
Kant bertolak pada sisi subjektif
manusia yang telah memilliki struktur
berpikir essensial dan universal dalam menghadapi kenyataan pengalaman,
sehingga dari itu akan diperoleh suatu
pengetahuan yang pasti.
Kant berpandangan bahwa estetika
memiliki pengertian yang sangat luas, yang tidak saja mengenai keindahan dan
keagungan tetapi juga kesenangan secara umum. Estetika berfokus pada kesenangan yang dalam konteks ini lebih pada
karakteristik subjek yang mengalami kesenangan itu daripada karakteristik
objeknya (peningkmat yang menciptakan kesenangan bukan objek). Penilaian
kesenangan bersifat stabil karena esensial dan universal dan berbeda dengan
kesenangan lain yang bukan keindahan.
Menurut Kant ada empat teori
mengenai keindahan, yaitu :
1.
Teori
Disinterestedness, teori ini dikatakan teori tanpa pambrih dalam seni.
Karya seni adalah keindahan murni yang tanpa dikotori oleh kepentingan dan keinginan praktis manusia. Menikmati
keindahan objek harus dihilangkan dari kepentingan hidup sehari-hari seperti
kepentingan memiliki, menguasai dan memanfaatkan. Keindahan seni bukan untuk
kepentingan moral, politik, agama,
kegunaan praktis, dll. Lebih tegas lagi bahwa penilaian keindahan harus
dipisahkan dari keberadaan dan eksistensi objeknya. Sebagai contoh Kita
menikmati keindahan hamparan sawah di Jatiluwih atau gunung dan danau Batur
dari Kintamani merupakan kegiatan yang dilakukan tanpa tuntutan apapun. Yang
terpenting adalah kenikmatan dan kepuasan jiwa, karena alam telah menyegarkan
pikiran dan perasaan. Bagi beberapa seniman, keindahan alam itu bisa menjadi
salah satu rangsangan untuk berkarya seni. Seniman yang memiliki kepekaan
artistik, akan mengalami keharuan estetik atas realita alam. Kemudian
mengabadikan dan mengubah alam menjadi karya seni.
2.
Teori
Universalitas, berfungsinya daya estetika itu berlaku dengan semua manusia
di seluruh penjuru dunia, Kant memandang ini sebagai akibat dari sifat tak
berkepentingan (disinterestedness). Daya estetik itu berfungsi sebelum
dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan yang berbeda antar sesama manusia.
Sebelum ada kepentingan yang beraneka ragam yang mencampurinya, dengan
sendirinya pada saat itu sifatnya universal dan berlaku dimana-mana.
3.
Teori
Esensialitas, teori ini mengatakan jika seseorang melihat ataupun
mengatakan sesuatu itu indah, maka dia sedang membicarakan sesuatu yang
memberikan kesenangan yang muncul dari
kemampuan manusia pada umumnya. Disamping itu hal yang dapat mendatangkan
kesenangan bagi seseorang dapat juga mendatangkan kesenangan pada orang lain,
karena pada hakikatnya tiap manusia memiliki kemampuan dasar kesenangan yang
sama. Namun nyatanya tidak demikian, kemampuan dasar itu yang ada pada manusia
perkembangannya tidak selalu sama. Setiap penilaian keindahan selalu sifatnya
tunggal yang hanya melibatkan satu orang atau individu. Sehingga tidak akan
pernah ada aturan umum yang bersifat baku yang dapat untuk diformulasikan dari
kumpulan penialaian tunggal yang ada. Pada dasarnya, pemikiran ini menunjukkan
setiap orang dapat setuju tentang apa yang indah, akan tetapi kita tak pernah
memperoleh petunjuk bagaimana kita bisa mendapat persetujuan bersama tentang
yang indah itu.
Menurut A. A. M. Djelantik teori
ketiga ini disebut dengan teori
kemuthlakan, dengan pengertian bahwa keindahan itu kehadirannya muthlak,
tidak dapat disangsikan hadir pada setiap orang meskipun kadar nilai keindahan
itu berbeda-beda antar seseorang.
4.
Teori
Bentuk Tujuan, teori ini mengatakan bahwa keindahan yang memunculkan rasa
senang itu muncul dari adanya hubungan bentuk sebagai stimulus keindahan. Karya
seni selalu berupa wujud atau suatu bentuk tertentu. Dan semua bentuk seni
adalah hasil dari aktivitas manusia yang bertujuan. Manusia menciptakan karya
seni dengan tujuan tertentu, maka orang harus membedakan antara tujuan
penciptaan dan bentuk itu sendiri. Sementara penilaian rasa keindahan hanya
menyangkut masalah benntuk ini saja, hanya bentuk yang mendatangkan rasa keindahan,
baik bentuk alam maupun bentuk buatan manusia. Dalam hal ini Kant berpendapat
bahwa kualitas warna atau bunyi bukan bagian dari keindahan, tetapi hanya
bagian yang memberikan kesenangan pada manusia,