Translate

Rabu, 12 Desember 2012

SALYA PARWA



RINGKASAN SALYA PARWA



Sesudah Karna gugur dalam perang Duryodhana dirundung kesedihan, Bhagavan Krpta memberi saran agar perang dihentikan untuk menghindari kehancuran lebih lanjut. Tapi duryodhana mengatakan itu semua sudah terlambat dan ingin melanjutkan pertemburan. Kemudian ia mengusulkan Salya menjadi seorang senopati, Salya menasehati Duryodhana agar berhenti berperang  dan ia menyanggupi akan menjadi penengah dan penghubung antara Kurawa dan Pandawa. Aswatama yang memang dari awal tak suka dengan Salya sangat marah dan menghina Salya hingga terjadi perkelahian dikeduanya. Dan delerai oleh Duryodhana, karena merasa berhutang budi kepada Duryodhana Salyapun bersedia menjadi senopati.
            Keesokan harinya yaitu pada perang yang ke delapan belas, Prabu Salya berhadapan dengan Arjuna dan Bima berhadapan dengan adik-adik Duryhodana yang hanya tinggal lima orang. Sebelum tengah hari Bima telah berhasil membunuh kelimanya. Bima sangat merasa puas karena dendamnya terhadap Korawa hampir dapat terlampiaskan hanya tinggal Duryodhana saja yang belum. Tetapi sebelum mencari Duryodhana ada seorang lagi yang diincarnya yaitu Sakuni. Saat dilihatnya Sakuni sedang berhadapan dengan Sahadewa. Dengan Teriakan yang nyaring Ia menyuruh Sahadewa untuk Mundur.
            Melihat Bima datang, sakuni mulai takut. Ia berusaha melarikan diri, tetapi Bima berhasil mengejarnyadan menjambak rambutnya serta membantingnya. Sakuni berusaha bangun, entah untuk melawan atau larti lagi. Bima lalu mengeluarkan unek-uneknya, “Hai Sakuni, peperangan ini terjadi akibat mulutmu yang busuk. Aku telah bersumpah untuk merobek mulutmu yang busuk.”
            Sakuni merasa bahwa tidak ada gunanya lagi Ia melarikan diri. Ia-pun langsung menyerang Bima. Namun dalam beberapa gerakan saja Ia telah jatuh tertunduk, serangannya mampu ditahan Bima. Bima kembali mencacinya, “Terlalu enak bagimu jika kau kubunuh dengan sekali pukul. Karena kaulah yang menjadi sumber segala bencana ini. Dengan akal busukmukau selalu berusaha mmelenyapkan Pandawa. Sekarang rasakan penderitaanmu.” Bima kembali menjambak rambut Sakuni sambil memakinya sepuas hati. Setelah itu tangannya dipatahkan, matanya dibutakan, dan akhirnya mulutnya dirobek sampai Ia menjerit melepas nyawa.
            Sementara itu, pertempuran antara Salya dengan Arjuna berlangsung sengit. Lama kelamaan Salya makin terdesak, Salyapun langsung mengeluarkan Aji Candra Bhairawa. Tubuh Salya mengeluarkan raksasa yang langsung menyerang Arjuna. Raksasa itu langsung dipanah oleh Arjuna tepat mengenai perutnya. Raksasa itu tidak mati, bahkan Raksasa itu mengeluarkan darah dan darahnya berubah menjadi Raksasa lagi. Sehingga Arjuna diserang oleh dua Raksasa. Arjuna hendak memanahnya lagi namun dilarang oleh Krisna dan Ia meminta Arjuna untuk mundur.
            Bima yang melihat adiknya didesak oleh dua Raksasa mulai menghadang raksasa tersebut. Dengan Gadanya ia memukuli Raksasa-raksasa tadi. Tetapi Raksasa yang dipukul tadi menjadi banyak Raksasa karena tiap darah yang keluar berubah menjadi raksasa baru. Dengan demikian Bima direbut oleh banyak raksasa. Dan raksasa itu pula menyerang seluruh prajurit Pandawa.
            Pada saat itu, hari telah menjelang tengah hari, Krisnha lalu mendekati Yudhistira dan menyuruh Yudhistirauntuk melawan Salya. Yudhistirapun maju dengan senjata Kalimasada. Tepat tengah hari Kalimasada dilemparkan dan tepat mengenai kepala Salya. Dan akhirnya Salya gugur, dengan itu raksasa-raksasa Candra Bairawapun lenyap dengan seketika. Gugurnya Salya dan lenyapnya para raksasa disambut dengan gembira oleh pasukan Pandawa, sebaliknya prajurit Korawa menjadi putus asa. Mereka kehilangan semangat untuk bertempur, mengingat para pemimpin mereka sudah gugur. Mereka berlari menyelamatkan diri. Sedangkan Duryodhana melarikan diri setelah mengetahui gugurnya Salya dan kehancuran prajurutnya serta tak seorangpun yang bisa diandalkannya lagi. Duryodhana bersembunyi di sebuah telaga. Sementara itu para Pandawa mencari Duryodhana di medan perang, namun tidak ditemukan.
            Setelah mengetahui Prabu Salya gugur, salah seorang prajuritnya meninggalkan medan pertempuran dan melapor pada Dewi Setyawati. Mendapatkan laporan tentang suaminya yang gugur Ia kemudian pingsan. Setelah siuman Ia kemudian berpesan kepada dayang-dayangnya bahwa Ia akan mencari jenazah suaminya tersebut serta akan melakukan satya. Sugandika yang menjadi dayangnya ikut dengan Setyawati, setelah membersihkan diri dan berpakain serba putih mereka berjalan menuju bekas arena pertempuran. Disana Ia menemukan banyak jenazah dan belum menemukan jenazah suaminya, hingga Ia hampir putus asa, akhirnya ada petunjuk dari lagit tentang keberadaan jenazah Salya. Akhirnya Setyawati dan Sugandika melakukan satya.
            Atas petunjuk Krisna, Pandawa menemukan keberadaan Duryodhana bersembunyi. Duryodhana pada saat itu sedang berendam disebuah telaga. Bima lalu berkata “Hai Duryodhana, ternyata kamu sudah tidak ksatriya lagi. Kamu meninggalkan medan perang karena takut mati. Kamu melarikan diri dan bersembunyi disini. Kamu kira aku tak akan bisa menemukanmu. Kemanapun kamu bersembunyi akan tetap aku kejar. Sekarang tunjukkanlah sikap kesatryamu. Ayolah kita bertempur sebagai kesatrya.” Mendengar tantangan Bima seperti itu akhirnya Duryodhana berkata, “Hai Bima dan kamu Pandawa semua, aku berendam disini bukan karena takut, tapi badanku terasa panas. Sekarang majulah kalian berlima serta seluruh prajuritmu rebutlah aku. Aku tidak takut menghadapi kalian semua seorang diri.” Mendengar kata-kata Duryodhana yang demikian congkak, Krisnapun berkata, “Hai Duryodhana, Pandawa tetap menjunjung tinggi sifat-sifat kesatrya. Pandawa menjadi tidak kesatrya bila mengeroyokmu. Oleh karena itu kamu boleh memilih salah satu dari mereka untuk bertempur denganmu.” Mendengar penjelasan Krisna, Duryodhana menjawab, “ Kalau begitu baiklah, aku akan memilih salah satu. Aku tidak memilih Nakula atau Sahadewa karena bagiku mereka masih terlalu kanak-kanak. Aku juga tidak memilih Arjuna karena Ia bersifat banci. Aku juga tidak mau bertempur dengan Yudhistira yang seperti pendeta. Satu-satunya yang cocok berhadapan denganku adalah Bima. Disamping antara aku dan Bima cukup seimbang, kebetulan sekali kami sama-sama bersenjatakan gada.
            Setelah dialog tersebut disiapkan arena untuk perang tanding antara Bima dan Duryodhana. Sebelum perang dimulai, kebetulan Baladewa datang ke tempat itu. Semua yang ada disana memberi hormat atas kedatangannya. Duryodhana sangat senang atas kedatangan Baladewa begitu juga dengan Bima. Baladewa merupakan guru mereka dalam penggunaan senjata gada, kemudian mereka meminta restu untuk memulai pertempuran. Dan juga Baladewa diminta untuk menjadi saksi.
            Perang antara Duryodhana dan Bima sangat seru. Setelah beberapa lama Krisna berteriak-teriak memberi semangat. Bima yang sedang bertempur tertarik mendengar teriakan Krisna lalu menoleh ke arah Krisna. Saat Bima menoleh Krisna menepuk pahanya dan mematahkan sepotong ranting. Melihat hal itu Bima lalu teringat akan sumpahnya bahwa Ia akan mematahkan paha Duryodhana. Oleh karena itu Ia mengusahaakan untuk hal itu, seketika Duryodhana melompat Ia memukil pahanya. Seketika itu Duryodhana roboh ke tanah dengan paha yang remuk. Bima lalu menginjak-injak kepalanya dan memakinya, “Hai Duryodhana, rasakan sekarang hasil perbuatanmu. Inilah balasanku atas  segala kejahatanmu terhadap Pandawa.”
            Baladewa yang meihat hai itu jadi sangat marah. Ia lalu menegur Bima, “hai Bima mengapa kamu menyalahi aturan perang gada. Bukankah kamu tahu, dalam perang gada tidak boleh memukul dibawah perut. Kenapa kamu memukul paha, disamping itru perbuatanmu mencaci musuh dan menginjak kepala musuh yang tek berdaya sudah bukan merupakan sifat kesatrya. Atas dosamu aku akan menghukummu, bersiaplah menerima pukulan gadaku.”
            Krisna segera berlari menghalangi maksud Baladewa dengan memberikan penjelasan. “Kanda Baladewa, jangan dulu marah. Bima sengaja memukul paha Duryodhana karena ada alasannya. Pertama, Duryodhana telah banyak sekali berbuat dosa dan menyebabkan pihak Pandawa menderita. Kedua, karena Bima telah bersumpah akan mematahkan paha Duryodhana atas perlakuannya yang tidak senonoh terhadap Drupadi. Ketiga, Duryodhana telah terkena kutuk dari Maharsi Metrya, agar pahanya dipatahkan oleh nusuh karena penghinaannya terhadap Rsi tersebut. Atas tiga hal tersebut harap Kanda menjadi Maklum.” Setelah mendengar penjelasan tersebut, Baladewapun menjadi maklum dan meninggalkan tempat tersebut.
            Setelah Baladewa pergi, Krisnapun mengajak para pendawa untuk meninggalkan tempat tersebut. Tetapi sebelum mereka pergi jauh Duryodhana yang tak berdaya masih bisa mengomeli Krisna yang telah memberi syarat pada Bima untuk menghantap pahanya, Ia juga menuduh Krisna telah menyebabkan kematian Bhisma dengan menyuruh Srikandi menghadapi Bhisma. Begitu pula kematiasn Drona, dengan menyuruh Yudhistira untuk berbohong. Jiga kematian Karna yang menyuruh Arjuna memanah Karna yang sedang memperbaiki kereta. Juga kematian Raja Sindu dengan membuat Kurusetra menjadi gelap
            Terhadap omelan Duryodhana tersebut Krisna menjawab bahwa itu adalah akibat dari dosa-dosa Duryodhana sendiri, seperti meracuni Bima, membakar Pandawa dirumah Gala-gala, permainan judi yang curang serta mempermalukan Drupadi. Setelah memberi penjelasan tersebut Krisna dan Pandawa beranjak dari tempat itu, para prajurit langsung disuruh ke kemah sementara para Pandawa diajak bertirtayatra untuk penyucian diri lahir batin. Yaitu di telaga Pancaka Tirta, letaknya di tengah hutan dekat dengan medan Kuru Setra. Telaga ini dibuat oleh Bhagawan Parasu Rama pada zaman dahulu.
Di Hastinapura, Dhrstaarastha menanyakan bagaimana kematian Duryodhana yang pahanya remuk dipukul dan apa kata terakhir yang muncul dari mulutnya. Sanjaya menceritakan rintihan-rintihan Duryodhana kepada Dhrstarastha, juga pesannya kepada krpa, Krtavarma dan Asvatama serta menginformasikan perintahnya kepada Carvaka tentang saat terakhir yang sangat menyakitkan. Utusan Duryodhana tiba di perkemahan Asvatama dan menyampaikan pesan dari Duryodhana. Krpa, Krttavarma dan Aswathama tiba di medan pertempuran dan melihat pertempuran sudah selesai. Asvathama sangat sedih hatinya melihat runtuhnya kerajaan besar dibawah pimpinan Duryodhana dan akan memenuhi janji yang diminta Duryodhana. Sumpah Asvatama dan permintaan Duryodhana untuk menjadikan Krpa sebagai panglima perang, selanjutnya perpisahan perpisahan ketiga pahlawan itu dan berakhir dengan kematian Duryodhana.

Rabu, 05 Desember 2012

renaja VS masalah



REMAJA DAN PERMASALAHANNYA

Masa yang paling indah adalah masa remaja. Masa yang paling menyedihkan adalah masa remaja. Masa yang paling ingin dikenang adalah masa remaja. Masa yang paling ingin dilupakan adalah masa remaja.
Masa remaja yang dimaksudkan merupakan periode transisi antara masa anakanak dan masa dewasa. Batasan usianya tidak ditentukan dengan jelas, sehingga banyak ahli yang berbeda dalam penentuan rentang usianya. Namun, secara umum dapat dikatakan bahwa masa remaja berawal dari usia 12 sampai dengan akhir usia belasan ketika pertumbuhan fisik hampir lengkap.
Salah satu pakar psikologi perkembangan Elizabeth B. Hurlock (1980) menyatakan bahwa masa remaja ini dimulai pada saat anak mulai matang secara seksual dan berakhir pada saat ia mencapai usia dewasa secara hukum. Masa remaja terbagi menjadi dua yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja awal dimulai pada saat anak-anak mulai matang secara seksual yaitu pada usia 13 sampai dengan 17 tahun, sedangkan masa remaja akhir meliputi periode setelahnya sampai dengan 18 Tahun, yaitu usia dimana seseorang dinyatakan dewasa secara hukum.
Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Bahkan ada yang dikenal juga dengan istilah remaja yang diperpanjang, dan remaja yang diperpendek. Remaja adalah masa yang penuh dengan permasalahan. Statemen ini sudah dikemukakan jauh pada masa lalu yaitu di awal abad ke-20 oleh Bapak Psikologi Remaja yaitu Stanley Hall. Pendapat Stanley Hall pada saat itu yaitu bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress) sampai sekarang masih banyak dikutip orang. Menurut Erickson masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri padaremaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium, foreclosure, dan identity achieved (Santrock, 2003, Papalia, dkk, 2001, Monks, dkk, 2000, Muss, 1988).

Karakteristik remaja yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan pada diri remaja, yaitu:
1. Kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan.
2. Ketidakstabilan emosi.
3. Adanya perasaan kosong akibat perombakan pandangan dan petunjuk hidup.
4.  Adanya sikap menentang dan menantang orang tua.
5. Pertentangan di dalam dirinya sering menjadi pangkal penyebab pertentangan- pertentang dengan orang tua.
6. Kegelisahan karena banyak hal diinginkan tetapi remaja tidak sanggup memenuhi semuanya.
7. Senang bereksperimentasi.
8. Senang bereksplorasi.
9. Mempunyai banyak fantasi, khayalan, dan bualan.
10. Kecenderungan membentuk kelompok dan kecenderungan kegiatan berkelompok.

Adapun masalah yang dihadapi remaja masa kini antara lain :
a. kebutuhan akan figur teladan
Remaja jauh lebih mudah terkesan akan nilai-nilai luhur yang berlangsung dari keteladanan orang tua mereka daripada hanya sekedar nasihat-nasihat bagus yang tinggal hanya kata-kata indah.
b. sikap apatis
Sikap apatis meruapakan kecenderungan untuk menolak sesuatu dan pada saat yang bersamaan tidak mau melibatkan diri di dalamnya. Sikap apatis ini terwujud di dalam ketidak-acuhannya akan apa yang terjadi di masyarakatnya.
c. kecemasan dan kurangnya harga diri
Kata stess atau frustasi semakin umum dipakai kalangan remaja. Banyak kaum muda yang mencoba mengatasi rasa cemasnya dalam bentuk “pelarian” (memburu kenikmatan lewat minuman keras, obat penenang, seks dan lainnya).
d. ketidakmampuan untuk terlibat
Kecenderungan untuk mengintelektualkan segala sesuatu dan pola pikir ekonomis, membuat para remaja sulit melibatkan diri secara emosional maupun efektif dalam hubungan pribadi dan dalam kehidupan di masyarakat. Persahabatan dinilai dengan untung rugi atau malahan dengan uang.
e. perasaan tidak berdaya
Perasaan tidak berdaya ini muncul pertama-tama karena teknologi semakin menguasai gaya hidup dan pola berpikir masyarakat modern.Teknologi mau tidak mau menciptakan masyarakat teknokratis yang memaksa kita untuk pertama-tama berpikir tentang keselamatan diri kita di tengah-tengah masyarakat. Lebih jauh remaja mencari “jalan pintas”,misalnya menggunakan segala cara untuk tidak belajar tetapi mendapat nilai baik atau ijasah.
f. pemujaan akan pengalaman
Sebagian besar tindakan-tindakan negatif anak muda dengan minumam keras, obat-obatan dan seks pada mulanya berawal dari hanya mencoba-coba. Lingkungan pergaulan anak muda dewasa ini memberikan pandangan yagn keliru tentang pengalaman.


http://netsains.net/2009/04/psikologi-remaja-karakteristik-dan-permasalahan/ http://nuritaputranti.wordpress.com/2008/02/19/remaja-dan-permasalahannya-part-1/

Minggu, 02 Desember 2012

saraswati



PERAYAAN SARASWATI DAN MAKNANYA

Tiap hari Sabtu/ Saniscara Umanis wuku Watugunung menurut kalender Bali (210 hari sekali). Umat Hindu di Indonesia merayakan hari suci Saraswati. Perayaan ini umumnya lebih semarak dirayakan oleh kalangan anak-anak hingga remaja yang masih sedang mengenyam pendidikan. Bagaimana tidak, karena pada hari inilah masyarakat hindu percaya dewi Saraswati sebagai Dewi Ilmu pengetahuan menurunkan Ilmu pengetahuan tersebut ke dunia. Hingga kita sebagai manusia dapat menikmati dan mengembangkan Ilmu pengetahuan tersebut. Perayaan Saraswati saat persembahyangannya lebih di tekankan dilaksanakan pada pura di sekolah masing-masing.
            Menurut lontar Sundari Gama tentang Brata Saraswati,  pemujaan Saraswati hendaknya dilakukan sebelum tengah hari yakni sebelum jam 12 siang. Ini mungkin dimaksudkan seperti halnya kita belajar dalam masa brahmacari hendaknya dimulai sejak dini. Jangan pernah menyia-nyiakan waktu untuk belajar sebab semakin bertambah usia kita, semakin berat juga tantangan hidup yang mesti kita hadapi. Bila kita terus menunda untuk belajar otomatis kita akan kewalahan dan bahkan tidak akan mampu menyelesaikan tantangan yang kita hadapi, disinilah pentingnya belajar sejak dini. Dengan belajar sejak dini, setidaknya kita memiliki bekal senjata untuk menghadapi tantangan hidup meski tantangan itu seberat apapun. Dalam Sarasamuscaya disebutkan :
Duhkhe swanu dwighna manah Nikhesu wigata sprhah wita soka bhaya krsdhah sthira dhiramunir ucyate. Sang kinahaning kaprajnan ngaranya,tan alara tatankataman kroda, mwang takut prihati,langgeng mahening juga  tutur nira, apan majnana
Artinya :
Orang yang memiliki keprajnyanan, tidak bersedih jika mengalami kesusahan, tidak bergirang hati jika mengalami kesenangan, tidak kerasukan nafsu marah dan rasa takut serta kemurungan, melainkan selalu tetap tenang juga pikirannya dan tutur katanya, karena berilmu, budi mulia pula  disebut orang yang arif bijaksana.
            Disamping itu dalam lontar Sundari Gama juga disebutkan hingga tengah hari tidak diperkenankan membaca dan menulis terutama yang menyangkut ajaran Weda dan sastranya. Ini sesungguhnya dimaksudkan agar kita dalam hari suci Saraswati itu tidak melakukan kesalahan dalam belajar lebih-lebih dalam menulis, karena dalam Saraswati tidak diperkenankan membunuh aksara (huruf). Karena kita percaya bahwa huruf aksara itu merupakan stana dari dewi Saraswati .
            Perayaan Saraswati merupakan perayaan yang memfokuskan pada penghormatan kepada Tuhan, karena beliau telah berkenan menurunkan ilmu pengetahuan yang sangat dapat dimanfaatkan oleh umat manusia. Dalam aspek ini umat Hindu mempersonifikasikan Tuhan yang bersifat acintya tersebut dalam wujud seorang wanita cantik bertangan empat yang diberi gelar sebagai Dewi Saraswati. Perwujudan ini bukan asal-asalan semata. Sebab terdapat beberapa makna yang tersirat dalam perwujudan dewi Saraswati ini. Dimulai dari mengapa diberi nama Saraswati. Saraswati (sanskerta) terdiri dari kata Saras yang berarti sesuatu yang mengalir atau ucapan dan Vati yang berarti memiliki. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Saraswati sebagai yang memiliki sifat mengalir atau makna ucapan. Maksudnya adalah pengetahuan itu sendiri yang mengalir terus menurus seiring tahun dan seirimg zaman. Ilmu pengetahuan kekal dan berkembang seiring berjalannya waktu memberikan suatu manfaaat yang luar biasa dalam kehidupan manusia.
Mengapa harus diwujudkan sebagai wanita bukan laki-laki saja? ini dimaksudkan karena hari turunnya ilmu pengetahuan identik dengan hari lahirnya ilmu pengetahuan itu sendiri. Secara awampun kita tahu hanya seorang wanita yang memiliki kemampuan melahirkan. Sehingga disimbolkan sebagai seorang wanita. Mungkin disini kita dapat tekankan bahwa  kelahiran sesungguhnya berbeda dengan penciptaan. Mengapa saya katakan demikian sebab proses penciptaan selalu lebih dahulu dari proses kelahiran. Setelah sesuatu itu tercipta baru sesuatu itu dapat dilahirkan. Selanjutnya wanita tersebut dikatakan memiliki kecantikan yang sempurna tanpa cacat sedikitpun yang mampu menarik hati siapapun yang melihatnya. Begitu pula halnya dengan ilmu pengetahuan yang sangat menarik dipelajari. Kita tak akan pernah merasa puas ataupun bosan dalam mempelajari ilmu pengetahuan. Kecantikan dewi Saraswati adalah kecantikan yang mengandung wibawa. Yang mempunyai daya tarik tersendiri. Dalam Nitisastra disebutkan bahwa orang yang tanpa ilmu pengetahuan, amat tidak menarik biarpun orang itu masih muda,sifatnya bagus dan dari keturunan bangsawan. Orang seperti itu seperti bunga merah menyala namun tanpa bau harum sama sekali.
Dewi Saraswati, memegang empat benda yang dipegang oleh keempta tangannya. Empat benda itu adalah :
1.      Pustaka suci (veda), yang banyak orang juga menyebut cakepan,lontar dan sebagainya  melambangkan sebagai sumber dari segala jenis ilmu pengetahuan baik itu parawidya (pengetahuan tentang tuhan) ataupun aparawidya (pengetahuan tentang semua ciptaan tuhan).
2.      Genitri, melambangkan pengetahuan tidak akan pernah habis-habisnya untuk dipelajari, bahkan hingga manusia itu tua dan akan meninggalpun ilmu itu tak akan pernah habis dipelajari. Banyak orang mengatakan “long life education”  atau bila di-Indonesiakan berarti belajar seumur hidup. Disamping itu genitri juga merupakan sarana pemujaan Tuhan secara Universal, sehingga kita dapat simpulkan dengan ilmu pengetahuan kita berupaya untuk mencapai Tuhan.
3.      Wina, merupakan alat music sejenis rebab, yang nantinya dapat bersuara merdu. Ini melambangkan pengetahuan juga mengandung unsure estetika atau seni.
4.      Teratai (padma), melambangkan sebuah kesucian, bahwa ilmu pengetahuan sesungguhnya suci dan selalu benar, biarpun dalam kehidupan ini ada berbagai penyakah gunaan ilmu pengetahuan tpi pada dasarnya bukan ilmunya yang salah. Namun para oknum pengguna ilmu itu yang salah menempatkan dan menggunakan ilmunya. Padma juga melambangkan buana agung dan buana alit.
Selain yang disebutkan diatas di sekeliling dewi Saraswati juga terdapat :
1.      Angsa, melambangkan sikap satwan dan bijaksana. Dan mampu hidup di tiga tempat yaitu air, tanah dan udara. Begitu pula hendaknya orang yang berprndidikan mampu bijaksana dan siap hidup dalam situasi seperti apapun itu juga.
2.      Padma, yang melambangkan alam semesta, dengan delapan penjuru mata angin yaitu asta dewata. Sebagai stana tuhan.
3.      Merak, melambangkan wibawa, seperti yang telah dijabarkan diatas dengan ilmu pengetahian kewibawaan seseorang akan muncul. Disamping itu merak juga melambangkan ego, artinya orang yang berpengetahuan harus berani menyatakan dirinya bisa atau pintar selama tidak berlebihan. Karena jika berlebihan nantinya akan kesombongan yang muncul dan merusak baginya.

Ada yang unik dari perayaan saraswati yang berupa salah satu bagian dari banten Saraswati yakni terdapat simbul cecak. Menurut ahli Antropologi, bangsa Austronesia (nenek moyang kita) meyakini baha cecak mmemiliki kekuatan dan kepekaan terhadap getaran-getaran spiritual. Tidak dapat dipungkiri juga hingga sekarang para orang tua kita banyak juga yang ,asih percaya dengan hal tersebut. Mereka mencari pertanda dari suara cecak. Dalam bahasa bali cecak desebut cecek, cecek itu sendiri memiliki makna titik (.). Ini mempunyai makna sebenarnya ilmu pengetahuan yang kita warisi dalam bentuk tulisan itu berawal dari sebuah titik. Titik itu di tarik dan berakhir pula pada sebuah titik dan membentuk pila yang disebut aksara. Berkat titik-titik inilah segala jenis ilmu pengetahuan terekam hingga sampai dapat kita warisi hingga sekarang ini. Sesungguhnya dengan ilmu pengetahuanlah segala sesuatu dapat terjadi. Seperti halnya disebutkan dalam Bhagavad Gita sloka 33.
Srayan dravyamayadyajnah jnanayajnah parantapa sarvam karma ‘khalam partham jnane perisamapyate
 Artinya:
Persembahan berupa ilmu pengetahuan, perantapa lebih bermutu daripada persembahan materi; dalam keseluruhannya semua kerja ini berpusat pada ilmu pengetahuan.

Rabu, 28 November 2012

Estetika Pencerahan




  Estetika dan Zaman Pencerahan
Pada abad ke-17 di Barat (Eropa) perkembangan ilmu pengetahuan mengalami kemajuan yang sangat segnifikan, kemajuan ini dipicu oleh orang-orang dari kalangan agamais sendiri yang berani merombak dan menentang doktrin-doktrin yang dianggapnya tabu pada agamanya karena tidak sesuai lagi dengan keadaan zaman. Sehingga pada akhirnya Kristen (sebagai agama penguasa di Barat) terpecah menjadi dua yaitu Protestan dan Katolik.  Hal ini seakan menjadi pemicu bagi semua bidang ilmu yang telah ada untuk berkembang dengan sangat pesat, tak ketercuali pada estetika.
Zaman pencerahan adalah zaman setelah berakhirnya zaman Renaisance yang merupakan zaman ke-emasan dari perkembangan seni di Barat. Sesuai dengan namanya pada zaman ini manusia mulai lagi bepikiran yang cerah, dalam artian manusia mulai lagi mengandalkan nilai kebebasan dari akal budi atau logika manusia itu sendiri. Tidak lagi harus terkungkung dari hukum penguasa atau gereja.  Dengan kebebasan ini semua orang mempunyai hak yang sama untuk mengekspresikan dirinya, mencari dan mempelajari ilmu-ilmu yang disenangi. Dan yang lebih penting mereka tidak takut lagi mengajukan suatu pendapat yang mereka anggap benar.
Zaman pencerahan ini juga sering disebut dengan zaman rasionalisme. Karena hampir keseluruhan ilmu berpijak dari logika atau akal manusia tak ketercuali estetika. Rene Descartes yang merupakan pelopor filsuf rasionalisme memberikan sebuah pemahaman bahwa segala sesuatu diringkas dalam semboyan clara et distincta, (clear and distinct) yang artinya jelas dan lugas. Namun terhadap seni dan estetika yang menyangkut perasaan para filsuf pencerahan menyebutkan  clear and confused yang artinya jelas, namun tak dapat diterangkan secara lugas dan rinci.
Berdasarkan pendapat umum, estetika diartikan sebagai suatu cabang filsafat yang memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah pada alam dan seni. Estetika yang berasal dari bahasa Yunani “aisthetika” berarti hal-hal yang dapat dicerap oleh panca indera. Oleh karena itu estetika sering diartikan sebagai pencerapan indera (sense of perception). Alexander Baumgarten (1714-1762), seorang filsuf Jerman adalah yang pertama memperkenalkan kata aisthetika, sebagai penerus pendapat Cottfried Leibniz (1646-1716). Baumgarten memilih estetika karena ia mengharapkan untuk memberikan tekanan kepada pengalaman seni sebagai suatu sarana untuk mengetahui (the perfection of sentient knowledge).
Pada zaman pencerahan panadangan filsuf terhadap  estetika khususnya seni memiliki beberapa ciri-ciri seperti :
1.      Keindahan dimasukkan ke dalam  katagori sensoris (pencerapan indra manusia) dan intelektual manusia secara alami disamping itu keindahan dipandang suatu gejala imperis (pengalaman) dan trasendental.
2.      Ketertarikan filsuf pada hubungan dunia objektif yang berupa karya budaya dengan kodrat alamiah manusia.
3.      Selera menjadi kritik objek dalam seni dimana manusia itu sendiri sebagai hakim keindahan benda seni.
4.      Mulai pudarnya teori keindahan secara spekulatif, mulai munculnya berbagai konsep dan teori seni.
5.      Mulai tersebarnya ajaran tentang  kemampuan dasar manusia yang kodrati, dimana manusia memiliki empat tingkat kemampuan yaitu kemampuan vegetatif, lokomotif, rasional dan sensoris atau pengindraan. Dalam konteks ini seni dimasukkan dalam tingkatan sensoris atau pengindraan.
  

 Tokoh-tokoh Filsuf Zaman Estetika Pencerahan
1.      Earl of Shaftesbury (1671-1713)

Shaftesbury filsuf asal Inggris ini mengatakan bahwa keidahan alamiah adalah bayang-bayang belaka dari keindahan asal dimana ia melihat gejala keindahan adalah sesuatu yang bersifat transendental. Pandangan Shaftesbury ini kerap dikatakan berkaitan dengan ajaran Plato yang  menilai tinggi adanya ide murni, dan juga ada pengaruh dari paham agama Puritisme yang berkembang baik di Inggris kala itu sehingga ia berpendapat bahwa kepentingan pribadi (selera individual) dalam seni dan keindahan akan menjadi semacam perusak dari keindahan murni. Menurut kaum Puritin, keinginan untuk pribadi untuk memiliki keindahan secara tetap adalah unsur perusak dalam apresiasi seni. Pertimbangan kepentingan pribadi atau berbagai keinginan praktis dalam diri manusia tidak sejalan dengan apresiasi seni.
Ada tiga tingkatan keindahan dalam hidup ini, yaitu tingkat jasmaniah, rohaniah (spiritual), dan tingkat illahi. Sesuatu yang indah selalu bersifat baik dan teratur sehingga ukuran moral menjadi sangat penting dalam nilai seni menurutnya.
 Apresiasi terhadap seni (faculty of taste) bukan merupakan satu indra tersendiri tetapi bersifat dwi tunggal, dan dapat dijelaskan dalam dua ranah fungsi yaitu :
a.       Sebagai kemampuan moralitas, mampu menilai kesusilaan suatu perbuatan orang, patut, tidak patut, ia memandang ini sebagai fungsi intelektual.

b.      Sebagai kemampuan menikmati keindahan (sense of beauty), indra ini merupakan fungsi dari budi manusia yang dibangkitkan oleh adanya “karunia atau berkah dari atas” (baik dari leluhur ataupin Tuhan) sehingga dapat dikatakan bersifat transendental. Fungsi ini tak sepenuhnya dikuasai oleh manusia, mannusia harus mengarahkan dirinya kepada “kekuatan dari atas” dengan cara melakukan kontemplasi diri.

Penggabungan dari kedua fungsi ini didasarkan atas keyakinan. Untuk mendapatkan pengalaman keduanya diperlukan keiklasan budi yang sering disebut dengan disinterestedness (tidak berkepentingan). Tanpa adanya sebuah keiklasan manusia tidak akan mungkin bisa melakukan penilaian moralitas.

2.      Hutcheson (1694-1746)

Hutcheson mengatakan selera seni atau keindahan bersifat tunggal, yakni murni keindahan yang bersifat imanen, kemampuan untuk menikmati keindahan itu barada pada manusia sendiri. Ini merupakan reaksi penolakan terhadap pandangan Shafesbury. Hutcheson mengajarkan pada setiap diri manusia terdapat kemampuan dasar yang bersifat internal dan eksternal.
Kemampuan internal manusia menyangkut masalah moral, kemuliaan, solidaritas, patriotik, rasa jengah dan keindahan. Kemampuan internal ini bersifat mental dan akan memberikan reaksi pada objek yang berada pada luar diri manusia.
Sementara itu kemampuan eksternal manusia diwakili oleh kelima indra manusia dalam berhubungan dengan hal-hal diluar dirinya. Kegiatan indra-indra inilah yang nantinya akan memberikan suatu persepsi terhadap sesuatu. Jika seseorang menghadapi objek seni diluar dirinya, maka sense of beauty yang merupakan kemampuan internal akan menanggapinya dengan perasaan tenang, damai, senang, harmonis, utuh, seimbang dan bahagia.
Dalam menanggapi objek tersebut sifat internal dan eksternal akan bekerja secara simultan sebelum adanya campur tangan rasio dan intelektual. Indra eksternal menghasilkan persepsi, logika anggapan ini adalah tanpa adanya kepentingan disinterstedness sebab tidak adanya pertimbangan (Logika) yang sempat mencampurunya.

3.      David Hume (1711-1776)

David Hume mengatakan bahwa pemahaman tentang kemampuan perasaan seni pada manusia dilakukan dengan penelitian emperis terhadap aspek-aspek tetentu sifat manusia. David Hume menjelaskan standar keindahan pada manusia hanya dapat diukur dari pengalaman imperis, yakni berdasarkan pengalaman nyata yang dikerjakan secara induktif. Dengan penelitian seperti itu dapat ditemukan sifat cita rasa manusia, dan dengan cara kerja itu Hume mendapat kesimpulan substantif mengenai keindahan. Menurutnya ada unsur mental dalam diri yang bersifat internal mengenai keindahan. Subjek sangat berperan penting dalam menentukan keindahan namun antar keduanya terjadi hubungan saling melengkapi antara kualitas mental tentang keindahan dan nilai-nilai keindahan yang terkandung dalam objeknya.

David Hume lebih banyak menerima pendapat Anthony tetapi ia mempertahankan bahwa keindahan bukan suatu kualitas yang objektif dari objek. Yang dikatakan baik atau bagus ditentukan oleh konstitusi utama dari sifat dan keadaan manusia, termasuk adat dan kesenangan pribadi manusia. Hume juga membuat konklusi, meskipun tak ada standar yang mutlak tentang penilaian keindahan, selera dapat diobyektifkan oleh pengalaman yang luas, perhatian yang cermat dan sensitivitas pada kualitas-kualitas dari benda.

4.      Alexander Gottlieb Baumgarten (1714 - 1762)

Gottlieb Baumgarten dikatakan sebagai pelopor dari istilah estetika, namun Ia tergolong filsuf minor yang pendapatnya sering diabaikan. Ia berpendapat bahwa objek seni bersifat indrawi. Dengan itu seni dikatagorikan sebagai ilmu keindrawian sehingga bersifat intektual. Dalam hal ini kebenaran ojektif harus sesuai dengan kebenaran estetik. Meskipun demikian kebenaran estetik terletak pada hal-hal yang nampaknya tidak benar dan benar, yaitu suatu kebenaran yang mungkin. Ada kebenaran yang secara intelektual dan indrawi. Ada kebenaran yang secara indrawi benar namun secara intelektual tidak benar ataupun sebaiknya. Inilah yang menyebabkan dalam seni prinsip clear and distinct tidak berlaku. Karya seni dalam wujudnya sangat jelas namun tidak dapat dijelaskan secara rinci dengan rasional. Dengan kata lain sumbangan pemikiran Alexander adalah membedakan antara penegetahuan intelektual (konkrit) dengan penegtahuan inderawi (abstark). Dalam pengetahuan inderawi yang bersifat abstark ini mengandung keindahan.

5.      Immanuel Kant (1724-1804)

Kant bertolak pada sisi subjektif manusia yang telah memilliki  struktur berpikir essensial dan universal dalam menghadapi kenyataan pengalaman, sehingga dari itu akan diperoleh  suatu pengetahuan yang pasti.

Kant berpandangan bahwa estetika memiliki pengertian yang sangat luas, yang tidak saja mengenai keindahan dan keagungan tetapi juga kesenangan secara umum. Estetika berfokus pada  kesenangan yang dalam konteks ini lebih pada karakteristik subjek yang mengalami kesenangan itu daripada karakteristik objeknya (peningkmat yang menciptakan kesenangan bukan objek). Penilaian kesenangan bersifat stabil karena esensial dan universal dan berbeda dengan kesenangan lain yang bukan keindahan.

Menurut Kant ada empat teori mengenai keindahan, yaitu :

1.      Teori Disinterestedness, teori ini dikatakan teori tanpa pambrih dalam seni. Karya seni adalah keindahan murni yang tanpa dikotori oleh kepentingan  dan keinginan praktis manusia. Menikmati keindahan objek harus dihilangkan dari kepentingan hidup sehari-hari seperti kepentingan memiliki, menguasai dan memanfaatkan. Keindahan seni bukan untuk kepentingan moral, politik,  agama, kegunaan praktis, dll. Lebih tegas lagi bahwa penilaian keindahan harus dipisahkan dari keberadaan dan eksistensi objeknya. Sebagai contoh Kita menikmati keindahan hamparan sawah di Jatiluwih atau gunung dan danau Batur dari Kintamani merupakan kegiatan yang dilakukan tanpa tuntutan apapun. Yang terpenting adalah kenikmatan dan kepuasan jiwa, karena alam telah menyegarkan pikiran dan perasaan. Bagi beberapa seniman, keindahan alam itu bisa menjadi salah satu rangsangan untuk berkarya seni. Seniman yang memiliki kepekaan artistik, akan mengalami keharuan estetik atas realita alam. Kemudian mengabadikan dan mengubah alam menjadi karya seni.

2.      Teori Universalitas, berfungsinya daya estetika itu berlaku dengan semua manusia di seluruh penjuru dunia, Kant memandang ini sebagai akibat dari sifat tak berkepentingan (disinterestedness). Daya estetik itu berfungsi sebelum dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan yang berbeda antar sesama manusia. Sebelum ada kepentingan yang beraneka ragam yang mencampurinya, dengan sendirinya pada saat itu sifatnya universal dan berlaku dimana-mana.

3.      Teori Esensialitas, teori ini mengatakan jika seseorang melihat ataupun mengatakan sesuatu itu indah, maka dia sedang membicarakan sesuatu yang memberikan kesenangan  yang muncul dari kemampuan manusia pada umumnya. Disamping itu hal yang dapat mendatangkan kesenangan bagi seseorang dapat juga mendatangkan kesenangan pada orang lain, karena pada hakikatnya tiap manusia memiliki kemampuan dasar kesenangan yang sama. Namun nyatanya tidak demikian, kemampuan dasar itu yang ada pada manusia perkembangannya tidak selalu sama. Setiap penilaian keindahan selalu sifatnya tunggal yang hanya melibatkan satu orang atau individu. Sehingga tidak akan pernah ada aturan umum yang bersifat baku yang dapat untuk diformulasikan dari kumpulan penialaian tunggal yang ada. Pada dasarnya, pemikiran ini menunjukkan setiap orang dapat setuju tentang apa yang indah, akan tetapi kita tak pernah memperoleh petunjuk bagaimana kita bisa mendapat persetujuan bersama tentang yang indah itu.

Menurut A. A. M. Djelantik teori ketiga ini disebut dengan teori kemuthlakan, dengan pengertian bahwa keindahan itu kehadirannya muthlak, tidak dapat disangsikan hadir pada setiap orang meskipun kadar nilai keindahan itu berbeda-beda antar seseorang.

4.      Teori Bentuk Tujuan, teori ini mengatakan bahwa keindahan yang memunculkan rasa senang itu muncul dari adanya hubungan bentuk sebagai stimulus keindahan. Karya seni selalu berupa wujud atau suatu bentuk tertentu. Dan semua bentuk seni adalah hasil dari aktivitas manusia yang bertujuan. Manusia menciptakan karya seni dengan tujuan tertentu, maka orang harus membedakan antara tujuan penciptaan dan bentuk itu sendiri. Sementara penilaian rasa keindahan hanya menyangkut masalah benntuk ini saja, hanya bentuk yang mendatangkan rasa keindahan, baik bentuk alam maupun bentuk buatan manusia. Dalam hal ini Kant berpendapat bahwa kualitas warna atau bunyi bukan bagian dari keindahan, tetapi hanya bagian yang memberikan kesenangan pada manusia,