Translate

Rabu, 28 November 2012

Estetika Pencerahan




  Estetika dan Zaman Pencerahan
Pada abad ke-17 di Barat (Eropa) perkembangan ilmu pengetahuan mengalami kemajuan yang sangat segnifikan, kemajuan ini dipicu oleh orang-orang dari kalangan agamais sendiri yang berani merombak dan menentang doktrin-doktrin yang dianggapnya tabu pada agamanya karena tidak sesuai lagi dengan keadaan zaman. Sehingga pada akhirnya Kristen (sebagai agama penguasa di Barat) terpecah menjadi dua yaitu Protestan dan Katolik.  Hal ini seakan menjadi pemicu bagi semua bidang ilmu yang telah ada untuk berkembang dengan sangat pesat, tak ketercuali pada estetika.
Zaman pencerahan adalah zaman setelah berakhirnya zaman Renaisance yang merupakan zaman ke-emasan dari perkembangan seni di Barat. Sesuai dengan namanya pada zaman ini manusia mulai lagi bepikiran yang cerah, dalam artian manusia mulai lagi mengandalkan nilai kebebasan dari akal budi atau logika manusia itu sendiri. Tidak lagi harus terkungkung dari hukum penguasa atau gereja.  Dengan kebebasan ini semua orang mempunyai hak yang sama untuk mengekspresikan dirinya, mencari dan mempelajari ilmu-ilmu yang disenangi. Dan yang lebih penting mereka tidak takut lagi mengajukan suatu pendapat yang mereka anggap benar.
Zaman pencerahan ini juga sering disebut dengan zaman rasionalisme. Karena hampir keseluruhan ilmu berpijak dari logika atau akal manusia tak ketercuali estetika. Rene Descartes yang merupakan pelopor filsuf rasionalisme memberikan sebuah pemahaman bahwa segala sesuatu diringkas dalam semboyan clara et distincta, (clear and distinct) yang artinya jelas dan lugas. Namun terhadap seni dan estetika yang menyangkut perasaan para filsuf pencerahan menyebutkan  clear and confused yang artinya jelas, namun tak dapat diterangkan secara lugas dan rinci.
Berdasarkan pendapat umum, estetika diartikan sebagai suatu cabang filsafat yang memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah pada alam dan seni. Estetika yang berasal dari bahasa Yunani “aisthetika” berarti hal-hal yang dapat dicerap oleh panca indera. Oleh karena itu estetika sering diartikan sebagai pencerapan indera (sense of perception). Alexander Baumgarten (1714-1762), seorang filsuf Jerman adalah yang pertama memperkenalkan kata aisthetika, sebagai penerus pendapat Cottfried Leibniz (1646-1716). Baumgarten memilih estetika karena ia mengharapkan untuk memberikan tekanan kepada pengalaman seni sebagai suatu sarana untuk mengetahui (the perfection of sentient knowledge).
Pada zaman pencerahan panadangan filsuf terhadap  estetika khususnya seni memiliki beberapa ciri-ciri seperti :
1.      Keindahan dimasukkan ke dalam  katagori sensoris (pencerapan indra manusia) dan intelektual manusia secara alami disamping itu keindahan dipandang suatu gejala imperis (pengalaman) dan trasendental.
2.      Ketertarikan filsuf pada hubungan dunia objektif yang berupa karya budaya dengan kodrat alamiah manusia.
3.      Selera menjadi kritik objek dalam seni dimana manusia itu sendiri sebagai hakim keindahan benda seni.
4.      Mulai pudarnya teori keindahan secara spekulatif, mulai munculnya berbagai konsep dan teori seni.
5.      Mulai tersebarnya ajaran tentang  kemampuan dasar manusia yang kodrati, dimana manusia memiliki empat tingkat kemampuan yaitu kemampuan vegetatif, lokomotif, rasional dan sensoris atau pengindraan. Dalam konteks ini seni dimasukkan dalam tingkatan sensoris atau pengindraan.
  

 Tokoh-tokoh Filsuf Zaman Estetika Pencerahan
1.      Earl of Shaftesbury (1671-1713)

Shaftesbury filsuf asal Inggris ini mengatakan bahwa keidahan alamiah adalah bayang-bayang belaka dari keindahan asal dimana ia melihat gejala keindahan adalah sesuatu yang bersifat transendental. Pandangan Shaftesbury ini kerap dikatakan berkaitan dengan ajaran Plato yang  menilai tinggi adanya ide murni, dan juga ada pengaruh dari paham agama Puritisme yang berkembang baik di Inggris kala itu sehingga ia berpendapat bahwa kepentingan pribadi (selera individual) dalam seni dan keindahan akan menjadi semacam perusak dari keindahan murni. Menurut kaum Puritin, keinginan untuk pribadi untuk memiliki keindahan secara tetap adalah unsur perusak dalam apresiasi seni. Pertimbangan kepentingan pribadi atau berbagai keinginan praktis dalam diri manusia tidak sejalan dengan apresiasi seni.
Ada tiga tingkatan keindahan dalam hidup ini, yaitu tingkat jasmaniah, rohaniah (spiritual), dan tingkat illahi. Sesuatu yang indah selalu bersifat baik dan teratur sehingga ukuran moral menjadi sangat penting dalam nilai seni menurutnya.
 Apresiasi terhadap seni (faculty of taste) bukan merupakan satu indra tersendiri tetapi bersifat dwi tunggal, dan dapat dijelaskan dalam dua ranah fungsi yaitu :
a.       Sebagai kemampuan moralitas, mampu menilai kesusilaan suatu perbuatan orang, patut, tidak patut, ia memandang ini sebagai fungsi intelektual.

b.      Sebagai kemampuan menikmati keindahan (sense of beauty), indra ini merupakan fungsi dari budi manusia yang dibangkitkan oleh adanya “karunia atau berkah dari atas” (baik dari leluhur ataupin Tuhan) sehingga dapat dikatakan bersifat transendental. Fungsi ini tak sepenuhnya dikuasai oleh manusia, mannusia harus mengarahkan dirinya kepada “kekuatan dari atas” dengan cara melakukan kontemplasi diri.

Penggabungan dari kedua fungsi ini didasarkan atas keyakinan. Untuk mendapatkan pengalaman keduanya diperlukan keiklasan budi yang sering disebut dengan disinterestedness (tidak berkepentingan). Tanpa adanya sebuah keiklasan manusia tidak akan mungkin bisa melakukan penilaian moralitas.

2.      Hutcheson (1694-1746)

Hutcheson mengatakan selera seni atau keindahan bersifat tunggal, yakni murni keindahan yang bersifat imanen, kemampuan untuk menikmati keindahan itu barada pada manusia sendiri. Ini merupakan reaksi penolakan terhadap pandangan Shafesbury. Hutcheson mengajarkan pada setiap diri manusia terdapat kemampuan dasar yang bersifat internal dan eksternal.
Kemampuan internal manusia menyangkut masalah moral, kemuliaan, solidaritas, patriotik, rasa jengah dan keindahan. Kemampuan internal ini bersifat mental dan akan memberikan reaksi pada objek yang berada pada luar diri manusia.
Sementara itu kemampuan eksternal manusia diwakili oleh kelima indra manusia dalam berhubungan dengan hal-hal diluar dirinya. Kegiatan indra-indra inilah yang nantinya akan memberikan suatu persepsi terhadap sesuatu. Jika seseorang menghadapi objek seni diluar dirinya, maka sense of beauty yang merupakan kemampuan internal akan menanggapinya dengan perasaan tenang, damai, senang, harmonis, utuh, seimbang dan bahagia.
Dalam menanggapi objek tersebut sifat internal dan eksternal akan bekerja secara simultan sebelum adanya campur tangan rasio dan intelektual. Indra eksternal menghasilkan persepsi, logika anggapan ini adalah tanpa adanya kepentingan disinterstedness sebab tidak adanya pertimbangan (Logika) yang sempat mencampurunya.

3.      David Hume (1711-1776)

David Hume mengatakan bahwa pemahaman tentang kemampuan perasaan seni pada manusia dilakukan dengan penelitian emperis terhadap aspek-aspek tetentu sifat manusia. David Hume menjelaskan standar keindahan pada manusia hanya dapat diukur dari pengalaman imperis, yakni berdasarkan pengalaman nyata yang dikerjakan secara induktif. Dengan penelitian seperti itu dapat ditemukan sifat cita rasa manusia, dan dengan cara kerja itu Hume mendapat kesimpulan substantif mengenai keindahan. Menurutnya ada unsur mental dalam diri yang bersifat internal mengenai keindahan. Subjek sangat berperan penting dalam menentukan keindahan namun antar keduanya terjadi hubungan saling melengkapi antara kualitas mental tentang keindahan dan nilai-nilai keindahan yang terkandung dalam objeknya.

David Hume lebih banyak menerima pendapat Anthony tetapi ia mempertahankan bahwa keindahan bukan suatu kualitas yang objektif dari objek. Yang dikatakan baik atau bagus ditentukan oleh konstitusi utama dari sifat dan keadaan manusia, termasuk adat dan kesenangan pribadi manusia. Hume juga membuat konklusi, meskipun tak ada standar yang mutlak tentang penilaian keindahan, selera dapat diobyektifkan oleh pengalaman yang luas, perhatian yang cermat dan sensitivitas pada kualitas-kualitas dari benda.

4.      Alexander Gottlieb Baumgarten (1714 - 1762)

Gottlieb Baumgarten dikatakan sebagai pelopor dari istilah estetika, namun Ia tergolong filsuf minor yang pendapatnya sering diabaikan. Ia berpendapat bahwa objek seni bersifat indrawi. Dengan itu seni dikatagorikan sebagai ilmu keindrawian sehingga bersifat intektual. Dalam hal ini kebenaran ojektif harus sesuai dengan kebenaran estetik. Meskipun demikian kebenaran estetik terletak pada hal-hal yang nampaknya tidak benar dan benar, yaitu suatu kebenaran yang mungkin. Ada kebenaran yang secara intelektual dan indrawi. Ada kebenaran yang secara indrawi benar namun secara intelektual tidak benar ataupun sebaiknya. Inilah yang menyebabkan dalam seni prinsip clear and distinct tidak berlaku. Karya seni dalam wujudnya sangat jelas namun tidak dapat dijelaskan secara rinci dengan rasional. Dengan kata lain sumbangan pemikiran Alexander adalah membedakan antara penegetahuan intelektual (konkrit) dengan penegtahuan inderawi (abstark). Dalam pengetahuan inderawi yang bersifat abstark ini mengandung keindahan.

5.      Immanuel Kant (1724-1804)

Kant bertolak pada sisi subjektif manusia yang telah memilliki  struktur berpikir essensial dan universal dalam menghadapi kenyataan pengalaman, sehingga dari itu akan diperoleh  suatu pengetahuan yang pasti.

Kant berpandangan bahwa estetika memiliki pengertian yang sangat luas, yang tidak saja mengenai keindahan dan keagungan tetapi juga kesenangan secara umum. Estetika berfokus pada  kesenangan yang dalam konteks ini lebih pada karakteristik subjek yang mengalami kesenangan itu daripada karakteristik objeknya (peningkmat yang menciptakan kesenangan bukan objek). Penilaian kesenangan bersifat stabil karena esensial dan universal dan berbeda dengan kesenangan lain yang bukan keindahan.

Menurut Kant ada empat teori mengenai keindahan, yaitu :

1.      Teori Disinterestedness, teori ini dikatakan teori tanpa pambrih dalam seni. Karya seni adalah keindahan murni yang tanpa dikotori oleh kepentingan  dan keinginan praktis manusia. Menikmati keindahan objek harus dihilangkan dari kepentingan hidup sehari-hari seperti kepentingan memiliki, menguasai dan memanfaatkan. Keindahan seni bukan untuk kepentingan moral, politik,  agama, kegunaan praktis, dll. Lebih tegas lagi bahwa penilaian keindahan harus dipisahkan dari keberadaan dan eksistensi objeknya. Sebagai contoh Kita menikmati keindahan hamparan sawah di Jatiluwih atau gunung dan danau Batur dari Kintamani merupakan kegiatan yang dilakukan tanpa tuntutan apapun. Yang terpenting adalah kenikmatan dan kepuasan jiwa, karena alam telah menyegarkan pikiran dan perasaan. Bagi beberapa seniman, keindahan alam itu bisa menjadi salah satu rangsangan untuk berkarya seni. Seniman yang memiliki kepekaan artistik, akan mengalami keharuan estetik atas realita alam. Kemudian mengabadikan dan mengubah alam menjadi karya seni.

2.      Teori Universalitas, berfungsinya daya estetika itu berlaku dengan semua manusia di seluruh penjuru dunia, Kant memandang ini sebagai akibat dari sifat tak berkepentingan (disinterestedness). Daya estetik itu berfungsi sebelum dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan yang berbeda antar sesama manusia. Sebelum ada kepentingan yang beraneka ragam yang mencampurinya, dengan sendirinya pada saat itu sifatnya universal dan berlaku dimana-mana.

3.      Teori Esensialitas, teori ini mengatakan jika seseorang melihat ataupun mengatakan sesuatu itu indah, maka dia sedang membicarakan sesuatu yang memberikan kesenangan  yang muncul dari kemampuan manusia pada umumnya. Disamping itu hal yang dapat mendatangkan kesenangan bagi seseorang dapat juga mendatangkan kesenangan pada orang lain, karena pada hakikatnya tiap manusia memiliki kemampuan dasar kesenangan yang sama. Namun nyatanya tidak demikian, kemampuan dasar itu yang ada pada manusia perkembangannya tidak selalu sama. Setiap penilaian keindahan selalu sifatnya tunggal yang hanya melibatkan satu orang atau individu. Sehingga tidak akan pernah ada aturan umum yang bersifat baku yang dapat untuk diformulasikan dari kumpulan penialaian tunggal yang ada. Pada dasarnya, pemikiran ini menunjukkan setiap orang dapat setuju tentang apa yang indah, akan tetapi kita tak pernah memperoleh petunjuk bagaimana kita bisa mendapat persetujuan bersama tentang yang indah itu.

Menurut A. A. M. Djelantik teori ketiga ini disebut dengan teori kemuthlakan, dengan pengertian bahwa keindahan itu kehadirannya muthlak, tidak dapat disangsikan hadir pada setiap orang meskipun kadar nilai keindahan itu berbeda-beda antar seseorang.

4.      Teori Bentuk Tujuan, teori ini mengatakan bahwa keindahan yang memunculkan rasa senang itu muncul dari adanya hubungan bentuk sebagai stimulus keindahan. Karya seni selalu berupa wujud atau suatu bentuk tertentu. Dan semua bentuk seni adalah hasil dari aktivitas manusia yang bertujuan. Manusia menciptakan karya seni dengan tujuan tertentu, maka orang harus membedakan antara tujuan penciptaan dan bentuk itu sendiri. Sementara penilaian rasa keindahan hanya menyangkut masalah benntuk ini saja, hanya bentuk yang mendatangkan rasa keindahan, baik bentuk alam maupun bentuk buatan manusia. Dalam hal ini Kant berpendapat bahwa kualitas warna atau bunyi bukan bagian dari keindahan, tetapi hanya bagian yang memberikan kesenangan pada manusia,








1 komentar: