Sebagai agama tertua dan tetap eksis dianut oleh manusia
hingga saat ini, hindu telah mengalami sangat banyak cobaan dan tantangan
sekaligus pembuktian-pembuktian apa yang ada dalam teksnya tidak serta merta merupakan
dogma-dogma, melainkan sbebuah nilai kebenaran yang sudah ribuan tahun teruji
kebenarannya. Sebagai agama dengan konsep terbesar dan memiliki dua buah bidang
keilmuan baik spiritual maupun ilmu pengetahuan sains tentu saja hindu memilik
pandangan-pandangan yang berkaitan dengan alam seperti halnya bidang ekologi.
Kebanyakan orang barat berpandangan antroposentris yang
menyatakan manusia sebagai pusat alam sehingga apa saja yang ada di alam harus
tunduk di tangan manusia, dengan pandangan ini mereka menghalalkan segala
bentuk eksploitasi alam dan berusaha untuk menguasai alam di bawah tangannya
sendiri. Dengasn demikian mereka dapat meraup untung yang sebanyak-banyaknya
dari kegiatan mengeksploitasi alam tersebut. Mereka hamper tidak memperhatikan
dampak apa yang terjadi dengan adanya eksploitasi besar-besaran terhadap alam.
Berbeda dengan pandangan barat Hindu memandang bahwa hidup
sebagai manusia, kita hendaknya mampu untuk berteman dengan alam, sebab alam
telah berbaik hati dengan menyediakan segala kebutuhan manusia, apa yang kita
butuhkan, baik makanan, minuman, peralatan sejatinya telah disediakan
bahan-bahannya oleh alam. Kita hanya bertugas mengolahnya sesuai dengan
kebutuhan kita, bukan malah menguasai dan menakhlukkan alam yang sudah sejati baik
kepada kita. Hindu mengajarkan kita untuk melayani alam. Hal ini tidaklah aneh
jika kita mesti melayani alam, sebab begitu banyaknya manfaat dan kita
memanfaatkan alam, kita harus melayani alam sebagai ucapan terimakasih kita
terhadapnya. Mungkin akan muncul pertanyaan dengan apa kita melayani alam,
dalam konsep Hindu kita mampu melayani alam dengan yadnya.
Konsep tentang ekologi dalam Hindu dituangkan dalam beberapa
kitab, utamanya dalam Atharva Veda
Mandala XII tentang Prtivi Sukta,
terkait antara ekologi dan hubungannya serta sikap manusia yang ideal terhadap
alam semesta. Jika di dilihat lebih jauh hubungan manusia dengan alam atau
lingkungan lebih-lebih dengan alam semesta dapat dijelaskan dalam Rg Veda I.1.9 yang menyatakan:
Sa nah piteva
sunave
‘gne supayano
bhava,
Sucasvanah
svastaye
Artinya:
Izinkan kami mendekatimu dengan
mudah, seperti ayah kepada anaknya;
Semoga engkau senantiasa bersama
kami.
Mata
Bhumih putro’ham prtivyah (Atharva Veda XII.1.12)
Artinya
:
Bumi adalah
ibuku dan aku adalah anaknya.
Bagaimana dalam konsep ini, Hindu
menganggap bahwa sesungguhnya alam semesta ini adalah orang tua bagi mereka,
dimana angkasa merupakan ayahnya sementara bumi dikatakan sebagai ibu sehingga
muncul istilah ibu pertivi. Hal ini senada dengan apa yang dijabarkan Donder
(2007: 218) pada sesungguhnya manusia sejak lahir memiliki 4 macam ibu yakni:
ibu yang melahirkan, ibu pertivi (bumi), ibu sapi dan ibu acarya. Ibu yang
melahirkarkan muthlak harus dihormati karena beliau merupakan perwakilan Tuhan
di muka bumi dengan jasanya telah mengandung selama 9 bulan tidak dapat ditebus
walaupun telah membuat sumur seratus, jasanya hanya dapat ditebus dengan
merawat anak-anaknya kelak. Seorang anak begitu dilahirkan akan diterima oleh
ibu pertivi. Sejak lahir hingga meninggal manusia disangga oleh bumi, dalam
keadaan tidur, jongkok,duduk dan dalam
keadaan jatuh tersungkur sekalipun bumi tidak pernah melepaskan manusia dari
tumpuannya.
Osadhir iti
mataras-tad
Vo devir-upa
bruve. (Rgveda X.97.4)
Artinya:
Tanam-tanaman memberi makan dan
melindungi alam semesta, oleh karenanya mereka disebut para ibu.
Tidak hanya
Bumi yang menjadi tempat kita berpijak yang disebut ibu di alam ini, tetapi
disebutkan dal Rg Veda di atas tumbuh-tumbuhanpun disebut sebagai ibu, karena
mereka menyediakan makanan dan telah melindungi alam semesta.
Indra
ya dyava osadhir uta-apah,
Rayim raksanti
jirayo vanani (Rgveda III.51.5).
Artinya:
Yang berikut ini adalah para pelindung
kekayaan alam:
atmosfir, tanam-tanaman dan tumbuh-tumbuhan berkhasiat obat,
sungai-sungai, sungai kecil-kecil, sumber-sumber air dan hutan-hutan blantara.
Virudho vaisvadevir-ugrah purusajivanih
(Atharvaveda VIII.7.4).
Artinya:
Tanam-tanaman memiliki sifat-sifat
semua para dewa. Mereka adalah para juru selamat kemanusian.
Hendaknya perlu kita ketahui,
sesungguhnya alam telah melindungi dan sebagai juru selamat bagi kita, pertama
kita contohkan dari air, air mampu melindungi kita dari kehausan, kita
melakukan suatu metabolisme dalam tubuh memerlukan banyak air, air juga mampu
membersihkan kekotoran-kekotoran yang melekat pada badan kita. Pepohonan sangat
berperan dalam menjaga dan menyediakan oksigen kepada kita di udara, bagaimana
tumbuhan memiliki tugas dan kemampuan untuk menyerap gas karbon dioksida hasil
pernafasan (respirasi) hewan dan manusia, selain itu tumbuhan juga menyerap
gas-gas yang bersifat racun yang berasal dari sisa-sisa pembakaran fosil
seperti gas yan dihasilkan pada mesin-mesin bermotor, tidak hanya itu hutan
sebagai paru-paru dunia yang menghasilkan oksigen untuk makhluk di bumi juga
menjaga dan menstabilkan suhu di bumi agar bumi tetap menjadi dingin. Dalam
hutan juga dihasilkan zat ozon yang melindungi bumi dari terik panas cahaya
matahari secara langsung. Ozon ini ibarat sebuah filter cahaya yang masuk ke
bumi agar semua cahaya yang masuk ke bumi aman bagi semua makhluk yang tinggal
di bumi.
"Prthivim drmha,
Prthivim ma himsih" (Mait ra yani Samhita. II.8.14)
Artinya:
Selalulah memperkuat dan memberikan makan kepada bumi.
Janganlah mencemarinnya.
Begitu besar jasa alam bagi
manusia, tidak salah jika kita semestinya sangat menghormati alam semesta ini
dan menjadikannya sebagai ibu kita sendiri. Kita diharapkan untuk tiak
mencemari ala mini, sebab perbuatan itu sama saja artinya dengan durhaka kepada
ibu kita sendiri yang berakibat ibu kita marah ,maka bencanapun akan ikut
melanda kita dari banjir, longsor, tsunami hingga global warming. Ini semua
sesungguhnya berasal dari kieangkuhan sikap manusia yang ingin menguasai alam
ini dan mengeksploitasinya demi kepentingan pribadi.
Annaad bhavanti bhuutaani.
Prajnyaad
annasambhavad.
Yadnyad bhavati
parjanyo
Yadnyah karma
samudbhavad. (Bhagavad Gita.III.14)
Artinya:
Makhluk hidup berasal dari makanan. Makanan berasal dari
tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan berasal dari hujan. Hujan berasal dari yadnya.
Yadnya itu adalah karma.
Sesungguhnya sebagai manusia kita
harus mampu berbuat yadnya untuk kebaikan semesta ini, seperti dalam sloka
diatas bagaimana kita diberikan gambaran, bahwa dari yadnyalah hujan itu
timbul, dari hujan tumbuh-tumbuhan mampu
hidup dan seterusnya. Maka dari itu kita harus beryadnya untuk kelangsungan
alam kita ini. Yadnya secara tidak langsung merupakan makanan bagi alam semesta
ini.
Terkait dengan yadnya di Bali
terdapat tradisi tumpek bubuh untuk menghormati tumbuh-tumbuhan ini, upacara
ini sering disebut dengan ngatag. Tupek Bubuh jatuh pada hari sabtu kliwon wuku
wariga, tepat 25 hari sebelum perayaan galungan. Sesungguhnya upacara ini
merupakan suatu persembahan kepada Sang Hyang Sangkara yang merupakan dewanya
Tumbuh-tumbuhan. Secara awam masyarakat Bali mengarapkan dengan upacara ini
tumbuhan mereka nantinya akan berbual lebat dan dapat dimanfaatkan sebagai mana
mestinya. Dalam upacara tumpek bubuh ini tergolong sangat unik, masyarakat Bali
membuat semacam bubur (bubuh) yang
diibaratkan sebagai sebuah makanan bagi para tumbuhan. Mantra yang digunakan
sangat berbeda dengan mantra-mantra yang lain, sebab menggunakan bahasa Bali.
Yandnya ini sesungguhnya merupakan sebuah implementasi dari ajaran filsafah
orang Hindu di Indonesia yang selalu ingin menyelaraskan dirinya.
Keselarasan merupakan suatu yang
sangat dicita-citakan oleh masyarakat Hindu, konsep masyarakat Hindu di
Indonesia khusunya di Bali mengenal istilah Tri Hita Karana, yang dimulai dari
menyelaraskan antara manusia dengan Tuhan secara spiritual (parhyangan), menyelaraskan manusia dengan manusia lain secara
social (pawongan) dan di bidang
ekologi bagaimana menyelaraskan antara manusia dengan lingkungan disekitarnya (palemahan), sebab lingkungan sekitar
manusia sangat berpengaruh bagi manusia itu sendiri. Berdasarkan uraian di
aatas jelas dapat kita lihat bagian dalam Tri
Hita Karana yang menyangkut masalah lingkungan adalah bagian palemahan.
Konsep masyarakat Bali memandang alam lingkungan merupakan satu kesatuan antara
Tuhan sebagai pencipta (Praja Pati),
manusia dan alam semesta sebagai ciptaanNya. Dan kesemuannya itu dapat saling mempengaruhi.
Masyarakat Bali sesungguhnya
memiliki pemikiran yang sudah tergolong sangat maju, dari zaman dahulu
masyarakat Bali nampaknya sudah mengetahuai nantinya akan terjadi suatu
perubahan-perubahan yang mengarah pada kerusakan-kerusakan lingkungan. Hal ini
ditandai dengan adanya upaya untuk mangantisipasi segala bentuk kerusakan
tersebut yang dirumuskan dalam sad kertih.
Sad Kertih merupakan sebuah konsep untuk menjaga dan memperbaiki lingkungan
berdasarkan konsep Hindu yang terdiri
dari 6 komponen seperti :
1. Wana Kertih,
adalah suatu konsep wawasan mengenai fungsi hutan yang sangat luas dan komplek.
Demikian banyak dan pentingnya fungsi hutan seperti, mengatur tata air
(hidroorologis), menjaga ekositem dan menyediakan berbagai tumbuhan dan kayu
untuk berbagai kebutuhan hidup. Dalam tradisi masyarakat Bali dikenal beberapa
jenis hutan sesuai peruntukannya yaitu:
a. Alas Angker,
yaitu hutan Tutupan/hutan lindung yang tidak boleh diutak-atik; seperti hutang
yang berada di sepanjang gunung Abang-Agung.
b. Alas Kekeran,
yaitu hutan yang diperuntukan untuk melindungi suatu kawasan suci atau tempat
pemujaan umat (hutan milik pura/ adat); hutan ini dapat kita temukan di daerah
Sangeh, Lempuyang, Andakasa dan lainnya
c. Alas Rasmini,
yaitu hutan produksi, yang bisa diambil kayunya tetapi harus tetap
memperhatikan kelestariannya; seperti hutan jati yang ada di jawa.
d. Alas
Arum, yaitu merupakan kawasan penyangga atau kawasan budidaya (agrowisata)
seperti yang ada di Bedugul.
Aplikasi dari konsep Wana Kertih yaitu upacara Mepekelem
(korban suci/yadnya), di gunung/hutan yang bermakna menumbuhkan rasa cinta dan
selalu menjaga kelestarian hutan.
2. Samudra Kertih,
yaitu konsep pemahaman kawasan kesamudraan atau kawasan maritim. Laut dipandang
sebagai sesuatu yang sangat keramat dan merupakan sumber kehidupan. Karena
adanya laut akan menimbulkan hujan, merupakan tempat hidup flora dan fauna dan
menciptakan iklim yang kondusip bagi kehidupan, maka senantiasa harus dijaga
kebersihannya jangan sampai tercemar. Hal ini di aplikasikan dalam kehidupan
beragama oleh masyarakat di Bali dengan upacara Mapekelem, yang mempunyai makna
memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi Dewa Bharuna sebagai
penjaga samudra, semoga kehidupan di laut berjalal dengan baik.
3. Danu Kertih,
yaitu konsep menumbuhkan wawasan untuk memahami fungsi sumber mata air seperti
danau, sungai, kolam/empang dan lainnya. Air merupakan sumber kehidupan yang
mengalir dari gunung dan tertampung di danau, mengalir lewat mata air dan
sungai. Oleh karena itu senantiasa harus dijaga kelestariannya jangan sampai
kering atau tercemar. Hal ini direalisasikan dalam bentuk upakara yang disebut
Mulang Pekelem di danau. Tujuannya jangan sampai ada yang secara sengaja/tidak
sengaja merusak dan mencemari kelestarian danau, mata air, sungai dan sumber
mata air lainnya.
4. Jagat Kerti,
yaitu konsep menumbuhkan wawasan untuk selalu hidup harmonis dan dinamismdalam
kehidupan bersama dalam masyarakat (paras paros selulung sebayantaka).
5. Jana Kertih,
yaitu merupaka motivasi untuk selalu menjaga dan menciptakan suasana hati yang
harmonis dalam diri sendri.
6. Atma Kertih,
yaitu membangun kondisi dimana setiap orang mampu mengeksistensikan kesucian
atmannya, sebagai unsur yang paling suci dalam dirinya.
Tidak hanya dalam sebuah konsep
semata dalam penerapannya masyarat bali menggunakan sebuah sistem yang dikenal
dengan istilah subak di dalam sebuah desa pakraman. Subak inilah yang berperan
mengatur dan mengelola alam di suatu desa tersebut yang tentunya tidak
bertentangan dengan konsep palemahan yang selalu bersinergi dengan alam. Di
luar sana mungkin orang lain akan mengira subak hanya sebuah sistem pengaturan
air dalam sawah semata, tetapi sesungguhnya subak lebih dari itu, dan mereka
jarang yang mengetahui subak juga terbentuk untuk mengelola lahan kering yang
disebut dengan sebak abian. Dengan adanya ke dua macam subak ini sesungguhnya
sangat berperan dalam menjaga dan mengelola lingkungan hidup masyarakat di Bali
agar tetap lestari dan dimanfaatklan sesuai dengan kebutuhan. Disamping Subak,
pihak desa pekraman juga memiliki andil yang sangat besar, karena tidak jaramg
juga terdapat desa pakraman yang mengatur tentang pelestarian di daerah
lingkungannya.
Dengan jika manusia
mau menjaga alam nantinya akan ada timbal balik dari alam yang senantiasa akan
menjaga manusia pula, seperti halnya seorang anak yang menjaga orang tuanya dan
orang tua yang sedang menjaga anaknya. Manusia semestinya didak berbuat serakah
yang ingin menguasai alam, tetapi semestinya manusia mampu berteman dan hormat
kepada alam sebab alam adalah ibu dari semua manusia itu sendiri. Bagaimana
sesungguhnya alam melindungi kita dari bahaya yang tidak pernah ketahui
layaknya seorang ibu melindungi anaknya.
Refrensi
:
Mantik,
Agus S. 2007. Bhagavad Gita.
Surabaya: Paramita
Donder,
I Ketut. 2007. Kosmologi Hindu.
Surabaya: Paramita
Sakala Sakha. Tanpa Tahun. Veda
Sruti Rg.Veda Samhita Mandala I, II dan III. Terjemahan oleh I Wayan Maswinara.
1999. Surabaya: Paramita
Titib, I Made. 2004. Veda
Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita
radheyasuta.blogspot.com/2012/07/tumpek-wariga-monumental-hari-bumi.html?m=1
cybex.deptan.go.id/gerbanglokal/kearifan-lokal-masyarakat-bali-dalam-pelestarian-lingkungan-hidup
http://balirecycling.com/gunung-danau-sungai-hutan-laut/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar