Translate

Kamis, 12 Mei 2016

orang bali menjadi pembantu di tanah sendiri



Orang Bali Menjadi Pembantu Di Tanah Sendiri


            Orang bali dikenal dengan orang-orang yang jujur dan pekerja keras, setidaknya pandangan itu yang, melekat pada sebagian besar orang Bali yang ada di perantauan atau transmigran. Kebanyakan Bali yang menjadi transmigran baik di Sumatera, Lampung, Sulawesi dan sebagainya jauh lebih mapan daripada penduduk asli di daerah tersebut. Ini menandakan bahwa orang Bali itu rajin bekerja, dan mampu menjadi pengusaha yang sukses di daerah yang didatangi. Banyak sektor-sektor ekonomi di daerah transmigrasi dikuasai oleh orang Bali.
            Keadaan bertolak belakang justru nampak di Bali. Kita tahu Bali merupakan pulau ‘pencetak dolar’ di Indonesia, salah satu penyumbang devisa yang sangat besar bagi negara dan merupakan tempat untuk ‘memancing uang’ yang sangat menjanjikan. Banyak investor asing maupun domistik berlomba-lomba membangun dan membesarkan usahanya di pulau seribu pura ini. Kedatanagan investor asing ini membawa angin segar bagi sebagian orang bali, mengingat bagi para pencari kerja otomatis akan membuka peluang yang besar mendapatkan pekerjaan pada suatu perusahaan dan sejenisnya. Namun orang bali hanya menjadi ‘kacung di negeri sendiri’. Mereka kebanyakan menjadi  menjadi pekerja kasar (lapangan) dibandingkan menjadi seorang pemimpin. Hampir semua jabatan penting pada perusahaan lebih-lebih hotel di Bali dimiliki dan dikuasai oleh orang luar bali. Bahkan yang lebih parah dari itu kerap kali pencari kerja ditolak hanya karena alasan mereka orang bali dan beragama Hindu dimana nantinya dianggap akan menyusahkan karena sering meminta libur, tanpa mereka sadar usaha yang mereka miliki berada di bali dan besar karena nama Bali.
Dari beberapa data kondotel yang saya dapatkan, sebanyak 63% unit kondotel di Bali dimiliki oleh investor asal Jakarta. Sedangkan sisanya, milik warga Tangerang (12%), Bekasi (10%), Bogor (8%), dan Depok (7%). Ini hanya baru Kondotel saja. belum lagi restoran dan badan usaha lainnya. Mengapa bisa demikian? Ini sesungguhnya dikarenakan orang bali mudah dibujuk dan dirayu oleh insvestor. Orang bali dapat dengan mudah melepas lahan (tanah) yang merupakan warisan dari leluhurnya kepada para investor karena diiming-imingi uang dan mendapat pekerjaan meski hanya menjadi ‘tukang kebun’. Desa adat yang merupakan pengikat juga kerap seakan tak bertaring dihadapan investor. Tak hanya masyarakat di bawah, pemerintah juga kadang-kadang memberi kesempatan dan kelonggaran kepada investor untuk menguasai perekonomian. Dengan demikian segala keuntungan akan dikuasai oleh insvestor, masyarakat lokal akan tetap menjerit kekurangan uang di kolam investor memancing uang. Masyarakat bali yang menjadi tuan rumah tetapi masyarakat bali pula yang menjadi pembantu di rumahnya sendiri.
Tidak hanya itu, pola pendidikan kita di bali dari anak-anak hingga remaja juga kerap kali membentuk pribadi seorang anak untuk menjadi seorang pekerja bukan seorang pemimpin. Kebanyakan orang tua di bali mendidik anak untuk mmenjadi seorang yang bekerja dengan fisik dan mengikuti perintah-perintah dari orang tua dibandingkan membiarkan ide-ide kreatifan anak terus berkembang liar. Anak-anak seakan-akan tidak diberikan mencoba segala hal yang mereka sukai, disamping itu orang tua kerap kali tidak memberikan beban tanggung jawab kepada seorang anak, dan selalu membantu anak dalam masalah kecil karena merasa kasihan. Orang tua ibarat seorang supir yang harus mengarahkan arah anak itu akan kemana. Tanpa memberikan kesempatan bagi anak untuk bertanggung jawab sendiri. Inilah yang mempengaruhi jiwa kepemimpinan dalam anak itu sangat kurang.

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar