Orang Bali Menjadi
Pembantu Di Tanah Sendiri
Orang
bali dikenal dengan orang-orang yang jujur dan pekerja keras, setidaknya
pandangan itu yang, melekat pada sebagian besar orang Bali yang ada di
perantauan atau transmigran. Kebanyakan Bali yang menjadi transmigran baik di
Sumatera, Lampung, Sulawesi dan sebagainya jauh lebih mapan daripada penduduk
asli di daerah tersebut. Ini menandakan bahwa orang Bali itu rajin bekerja, dan
mampu menjadi pengusaha yang sukses di daerah yang didatangi. Banyak
sektor-sektor ekonomi di daerah transmigrasi dikuasai oleh orang Bali.
Keadaan
bertolak belakang justru nampak di Bali. Kita tahu Bali merupakan pulau
‘pencetak dolar’ di Indonesia, salah satu penyumbang devisa yang sangat besar
bagi negara dan merupakan tempat untuk ‘memancing uang’ yang sangat
menjanjikan. Banyak investor asing maupun domistik berlomba-lomba membangun dan
membesarkan usahanya di pulau seribu pura ini. Kedatanagan investor asing ini
membawa angin segar bagi sebagian orang bali, mengingat bagi para pencari kerja
otomatis akan membuka peluang yang besar mendapatkan pekerjaan pada suatu
perusahaan dan sejenisnya. Namun orang bali hanya menjadi ‘kacung di negeri
sendiri’. Mereka kebanyakan menjadi
menjadi pekerja kasar (lapangan) dibandingkan menjadi seorang pemimpin. Hampir
semua jabatan penting pada perusahaan lebih-lebih hotel di Bali dimiliki dan
dikuasai oleh orang luar bali. Bahkan yang lebih parah dari itu kerap kali
pencari kerja ditolak hanya karena alasan mereka orang bali dan beragama Hindu
dimana nantinya dianggap akan menyusahkan karena sering meminta libur, tanpa
mereka sadar usaha yang mereka miliki berada di bali dan besar karena nama
Bali.
Dari beberapa
data kondotel yang saya dapatkan, sebanyak 63% unit kondotel di Bali dimiliki
oleh investor asal Jakarta. Sedangkan sisanya, milik warga Tangerang (12%),
Bekasi (10%), Bogor (8%), dan Depok (7%). Ini hanya baru Kondotel saja. belum
lagi restoran dan badan usaha lainnya. Mengapa bisa demikian? Ini sesungguhnya
dikarenakan orang bali mudah dibujuk dan dirayu oleh insvestor. Orang bali
dapat dengan mudah melepas lahan (tanah) yang merupakan warisan dari leluhurnya
kepada para investor karena diiming-imingi uang dan mendapat pekerjaan meski
hanya menjadi ‘tukang kebun’. Desa adat yang merupakan pengikat juga kerap
seakan tak bertaring dihadapan investor. Tak hanya masyarakat di bawah,
pemerintah juga kadang-kadang memberi kesempatan dan kelonggaran kepada
investor untuk menguasai perekonomian. Dengan demikian segala keuntungan akan
dikuasai oleh insvestor, masyarakat lokal akan tetap menjerit kekurangan uang
di kolam investor memancing uang. Masyarakat bali yang menjadi tuan rumah
tetapi masyarakat bali pula yang menjadi pembantu di rumahnya sendiri.
Tidak hanya
itu, pola pendidikan kita di bali dari anak-anak hingga remaja juga kerap kali
membentuk pribadi seorang anak untuk menjadi seorang pekerja bukan seorang
pemimpin. Kebanyakan orang tua di bali mendidik anak untuk mmenjadi seorang
yang bekerja dengan fisik dan mengikuti perintah-perintah dari orang tua
dibandingkan membiarkan ide-ide kreatifan anak terus berkembang liar. Anak-anak
seakan-akan tidak diberikan mencoba segala hal yang mereka sukai, disamping itu
orang tua kerap kali tidak memberikan beban tanggung jawab kepada seorang anak,
dan selalu membantu anak dalam masalah kecil karena merasa kasihan. Orang tua
ibarat seorang supir yang harus mengarahkan arah anak itu akan kemana. Tanpa
memberikan kesempatan bagi anak untuk bertanggung jawab sendiri. Inilah yang
mempengaruhi jiwa kepemimpinan dalam anak itu sangat kurang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar